(SORONG), WARTALANDAK.NET- Sengketa tanah yang sedang berlangsung di Pengadilan Negeri (PN) Sorong kini menjadi sorotan tajam publik, setelah terungkap bahwa PT Bagus Jaya Abadi (BJA) selaku penggugat ternyata tidak memiliki dokumen legal apapun atas lahan yang mereka klaim. Fakta ini terkuak dalam sidang mediasi pertama yang digelar pada Senin, 26 Mei 2025.
Kuasa hukum PT BJA, Albert Frasstio, secara terbuka menyatakan bahwa kliennya belum memiliki sertifikat resmi—baik Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), maupun Hak Milik (HM)—atas lahan yang saat ini disengketakan dengan Hamonangan Sitorus, pihak tergugat yang tercatat sebagai pemilik sah.
“Memang hingga saat ini belum ada sertifikat resmi atas nama klien kami,” ujar Frasstio kepada awak media usai sidang.
Pernyataan ini langsung menuai kritik keras dari berbagai pihak, termasuk kalangan akademisi dan praktisi hukum. Banyak yang mempertanyakan keputusan Pengadilan Negeri Sorong untuk menerima gugatan tersebut, mengingat gugatan itu tidak didukung bukti legal formal atas hak kepemilikan tanah.
Tanda Tanya atas Legal Standing Penggugat
Dalam sistem hukum pertanahan Indonesia, dasar klaim atas tanah harus dilandasi oleh dokumen yang sah, seperti sertifikat yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN). Tanpa itu, klaim dianggap tidak memiliki kekuatan hukum.
“Ini preseden yang buruk,” ujar Dr. Surya Darma, SH, MH, pakar hukum agraria dari Universitas Cendrawasih. “Menggugat tanpa dasar kepemilikan formal adalah tindakan yang gugur secara hukum. Pengadilan seharusnya lebih selektif sejak awal.”
Senada, Prof. Nurkholis Djunaedi, SH, LL.M, Ph.D, Guru Besar Hukum Agraria dari Universitas Indonesia, memperingatkan bahwa penerimaan gugatan seperti ini bisa menjadi celah praktik mafia tanah.
“Jika tidak dihentikan, ini bisa menjadi modus operandi baru. Bayangkan jika semua orang bisa menggugat hanya karena mengklaim tanpa bukti, apa yang terjadi pada kepastian hukum?” tegasnya.
Risiko Perampasan Terselubung
Julius Batlayeri, SH, advokat senior di Tanah Papua, juga menyoroti potensi penyalahgunaan hukum oleh korporasi. Ia mengatakan bahwa di Papua Barat Daya, banyak lahan milik masyarakat adat yang belum bersertifikat karena faktor historis dan administratif.
“Ketika perusahaan besar menggugat tanpa legalitas yang jelas, itu bisa dilihat sebagai upaya perampasan dengan memanfaatkan celah hukum. Ini sangat berbahaya,” katanya.
Menurut Julius, pengadilan harus bertindak cepat dan tegas dengan meminta bukti formal. Jika tidak ada, gugatan patut dinyatakan tidak dapat diterima demi menjaga keadilan dan integritas hukum.
Keadilan di Persimpangan Jalan
Bagi Hamonangan Sitorus, pihak tergugat yang merasa terdzolimi, keadilan kini tergantung pada kebijakan Majelis Hakim. Ia mengaku heran mengapa bisa digugat oleh pihak yang sama sekali tidak memiliki legalitas atas tanahnya.
Sementara itu, masyarakat dan aktivis hukum di Papua Barat Daya melihat kasus ini sebagai ujian bagi keberpihakan pengadilan terhadap keadilan substantif, bukan hanya prosedural.
“Jangan sampai pengadilan dijadikan alat oleh pihak berkepentingan untuk menggeser hak-hak masyarakat,” kata salah satu pemerhati hukum tanah adat yang enggan disebutkan namanya.
Publik Menanti Putusan Tegas
Kini semua mata tertuju pada Pengadilan Negeri Sorong. Akankah majelis hakim melanjutkan proses hukum atas gugatan yang cacat legalitas ini? Atau memilih menolak dan mengembalikan marwah keadilan dalam penanganan sengketa pertanahan?
Perkara ini lebih dari sekadar dokumen—ini adalah soal keadilan, sejarah, dan hak hidup masyarakat atas tanah mereka sendiri. Dan publik menuntut kejelasan, bukan sekadar formalitas. (YBR/Red).
Diterbitkan oleh Wartalandak. net (Ya' Syahdan).